Pertanyaan:
Bolehkah ta’assub (fanatik, red.) kepada mazhab tertentu yang diikuti oleh manusia dalam setiap hukum dari hukum-hukum syariat, sekalipun dengan begitu ia menyelisihi (pendapat, red.) yang benar? Bolehkah meninggalkan mazhab tersebut dan mengikuti mazhab yang benar dalam keadaan tertentu? Apa hukum mengikuti satu mazhab tertentu saja?
Jawaban:
Orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad mutlak tidak boleh bertaklid. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan itu, (maka) boleh baginya bertaklid kepada orang yang lebih ‘alim (mengetahui) daripadanya. Terkait permasalahan bermazhab dengan salah satu dari mazhab empat yang terkenal dan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, dan menisbatkan diri kepada mazhab tersebut, (maka) tidak ada larangan untuk itu. Misalnya, dikatakan “Fulan Hanbali”, “Fulan Hanafi”, “Fulan Maliki”. Gelar seperti ini senantiasa ada semenjak dulu di kalangan ulama, bahkan hingga ulama-ulama besar. Misalnya, dikatakan “Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali”, “Ibnul Qayyim Al-Hanbali”, dan seperti itu. Tidak ada larangan dalam hal ini.
Semata-mata ber-intima’ (menisbatkan diri) kepada mazhab tersebut tidaklah terlarang, namun dengan syarat, dia tidak boleh mengikat dirinya dengan mazhab tersebut, sehingga dia mengambil seluruh pendapat yang ada di dalamnya, baik yang benar maupun yang salah. Yang seharusnya ialah dia hanya mengambil yang benar saja. Adapun yang diketahuinya salah maka tidak boleh dia amalkan.
Jika tampak baginya pendapat yang lebih rajih, maka wajib baginya mengambil pendapat yang rajih itu, baik jika pendapat itu berada dalam mazhabnya maupun di mazhab yang lain. Karena yang telah jelas baginya adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak boleh meninggalkannya hanya karena perkataan seseorang.
Teladan kita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, kita mengambil pendapat yang ada dalam sebuah mazhab selama pendapat itu tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika ternyata pendapat itu bertentangan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajib bagi kita untuk meninggalkan pendapat tersebut dan lebih memilih sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita mengambil pendapat yang rajih dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mazhab mujtahidin mana pun datangnya.
Adapun orang yang mengambil pendapat imam secara mutlak, baik benar maupun salah, maka dia dianggap melakukan taklid buta. Kemudian, jika dia berpendapat bahwa wajib taklid kepada orang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini murtad (keluar dari Islam).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Barang siapa yang berkata, ‘Wajib taklid kepada orang tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,’ maka dia harus diminta untuk bertobat. Jika dia tidak mau maka dia dihukum mati, karena tidak ada seorang pun yang wajib diikuti kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau, (yaitu) dari kalangan imam mujtahidin, maka kita ambil pendapat mereka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Adapun jika seseorang mujtahid keliru dalam ijtihadnya maka haram bagi kita mengambil pendapatnya yang keliru itu.”
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 3, tahun IX, 1426 H/2005 M. Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
🔍 Apakah Madzi Membatalkan Puasa, Sebab Mandi Wajib Bagi Wanita, Konsultasi Perkawinan, Batas Akhir Sholat Tahajud, Doa Minum Air Zam-zam, Dosa Wanita Perebut Suami Orang